Selasa, 17 Mei 2011

Strategi Pembangunan


Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal
Penyebab utama ketertinggalan suatu daerah diantaranya karena kebijakan pembangunan yang terlalu berdimensi sektoral. Hal ini dibuktikan dengan dominannya penerapan asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah juga setali tiga uang (sama saja). Ini terlihat dari kuatnya ego dinas dan pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah.

Belum optimalnya pendekatan spasial dalam perencanaan pembangunan dapat dirasakan dari adanya ketimpangan antardaerah. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah  ditentukan "mekanisme pasar".  Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik, yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal.

Melihat problematika ini maka kedepan perlu dilakukan reorientasi strategi pembangunan daerah tertinggal. Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal perlu lebih menekankan dimensi spasial. Daerah perlu mengombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung mengelompok.
Kedua, perlu adanya integrasi strategi pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan  perkotaan. Desa umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities).
Ketiga, diperlukan Big Push bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Teori Big Push ini pertama kali dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Pada 1943, Rosenstein-Rodan menulis artikel tentang "Problems of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe". Dalam teori yang belakangan dikenal dengan Big Push Model, ditekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan Tenggara.

Dalam konteks daerah tertinggal, "daya dorong yang besar" bisa diartikan modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.

Berdasarkan perhitungan awal KPDT  total kebutuhan investasi di kabupaten tertinggal Tahun 2010-2014 mencapai sekitar  Rp. 716 Triliun. Angka ini barangkali mendekati pemenuhan kebutuhan Big Push Model. Hanya saja upaya pemenuhan seluruh kebutuhan daerah tertinggal untuk keluar dari ketertinggalan hanyalah mimpi jika mengandalkan anggaran KPDT semata, karena alokasi anggaran APBN yang dikelola KPDT hanya sekitar Rp. 1 Triliun per tahun.  

Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan daerah tertinggal perlu diupayakan  dengan berbagai cara (yang syah) diantaranya melalui: (1) pemberian insentif kepada investor  agar tertarik berinvestasi di daerah tertinggal, dan (2) mainstraiming alokasi anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk fokus pada penyelesaian ketertinggalan daerah.

Semua gambaran permasalahan dan kebutuhan daerah tertinggal di atas merupakan sebuah tantangan. Harapannya sekarang terletak pada pembuktikan komitmen pemerintah. Keinginan mengentaskan ketertinggalan daerah hendaknya tidak berhenti pada dokumen perencanaan semata, apalagi sekedar basa-basi.

Sumber:
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=16477

Tidak ada komentar:

Posting Komentar